Malam turun begitu cepat di bagian tengah pulau jawa, menyusul sore mencekam yang membuat abu vulkanik dan awan panas turun diatas desa sekitar Gunung Merapi. Abu vulkanik dan awan panas membuat dataran dan gunung itu menjadi halaman kelabu yang diatasnya, angin menggoreskan garis lalu menghapusnya. Kesombongan manusia membuat keramahan langit bersatu dengan kemurkaan alam.
Manusia kerdil dibalik keperkasaan alam berlari dan berlindung di barak pengungsian yang tak jauh dari amukan raksasa buas itu. Hewan-hewan tak berdosa terjerat dikandangnya sembari menjerit menahan sakitnya menjelang kematian.
Malam yang kelam serta kematian yang mengerikan.
Di jalan berdebu terlihat ramai warga berlari, sebagian menolong, membopong jasad saudaranya yang tewas sesaat setelah bencana itu tiba. Jerit tangis dan wajah-wajah ketakutan terlihat di setiap sudut desa.
Aku adalah orang yang beruntung karena aku berada jauh dari lokasi pembantaian itu. Meski hanya televisi yang dapat ku lihat dan ku dengar tapi aku cukup merasakan apa yang sedang mereka rasakan.
“Ketakutan…”
“Kebingungan…”
“Kesedihan…” dan
“Ketegangan…”
Aku di sini hanya dapat berkata, “Jangan takut saudara-saudaraku, karena tak ada apapun kecuali alam yang sedang memperingatkan manusia dengan kehebatannya dihadapan kekerdilan manusia dan keperkasaan alam berada di sisi kelemahan insan. Jangan takut saudara-saudaraku, sebab dibalik abu yang bertebaran dan tebalnya awan serta prahara yang menderu-deru ada Tuhan yang selalu memahami keadaan buruk dari umat manusia dengan rasa kasih sayang.
Berdo’a dan bersyukurlah pada-Nya, wahai saudara-saudaraku. Karena sampai pada saat ini alam belum menunjukkan kuasa terbesarnya dan Tuhan masih menunjukkan kebesarannya pada umat-umatnya.
tulisan dibuat sesaat setelah bencana merapi melanda bagian tengah pulau jawa pada bulan oktober 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar